Cari Cerita Menarik

Jumat, 13 Maret 2020

Cerita Bersambung: Jika Aku Menikah Muda Episode 05



Judul : Jika Aku Menikah Muda (JAMM)
Episode : 05
Penulis : A. Rahman AP
Jenis : Cerita Bersambung
Bentuk : Dialog
Genre : Drama, Komedi, Percintaan
Khusus Pembaca : 13+


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

EPISODE SEBELUMNYA . . .

“Akbar dan Chantika saling berdebat masalah ponsel yang terjatuh. Kondisi Sultan semakin kritis karena kehilangan banyak darah dan stok darah yang cocok dengannya di rumah sakit sedang kosong.”

BACA EPISODE SEBELUMNYA



- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -






Chantika memasuki ruangan gawat darurat dan memberitahukan Dr. Trisna jika stok darah yang cocok dengan pasien sedang kosong.

CHANTIKA : “Dokter ini gawat. Golongan darah yang cocok dengan pasien saat ini sedang . . .”

TRISNA : “Iya Chantika, aku tau. Kau tadi pergi dengan terburu-buru hingga aku tidak sempat mengatakannya padamu”

CHANTIKA : “Astaga, maafkan aku dok. Aku terlalu khawatir dengan kondisi pasien”

TRISNA : “Aku mengerti, tapi saat ini kondisinya sedang kritis dan kita harus menemukan pendonor secepatnya atau nanti akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan”

CHANTIKA : “Apa kondisinya separah itu dok?”

TRISNA : “Benar Chantika, dia kehilangan banyak darah. Kau lihat sendiri kondisinya tadi bukan?”

CHANTIKA : “Iya dok. Aku tidak tega melihatnya tadi, makanya aku pergi terburu-buru saat dokter mengatakan jika dia sedang membutuhkan donor darah”

Chantika berpikir

CHANTIKA : “Aku akan bicara dengan keluarganya”

TRISNA : “Chantika, tapi . . .”

Chantika keluar dari ruangan.


***


Chantika lalu mencari keluarga pasien. Namun dia tidak melihat siapapun kecuali Akbar yang duduk dan terlelap tidur di bangku tunggu, Chantika menghampiri dan membangunkannya, Akbar terkejut dan betapa terkejutnya lagi saat melihat Chantika yang membangunkannya.

CHANTIKA : “Hei kau?”

AKBAR : “I-i-ya apa-apa kau memanggilku? Ada apa? Ap... Apa ini? Kau lagi?”

CHANTIKA : “Benar, apa kau keluarga dari pasien yang sedang di rawat di ruang gawat darurat itu?”

AKBAR : “Aku . . .”

CHANTIKA : “Dia sedang membutuhkan donor darah. Sekarang ayo kau ikut denganku”

Chantika menarik Akbar, dan pada saat itu juga Harun datang

AKBAR : “Iya, tunggu. Tapi aku bukan . . .”

HARUN : “Akbar, syukur kau disini. Kenapa kau tidak menghubungi Ayah, semua keluarga panik di rumah. Sekarang bagimana kondisi Sul . . .”

CHANTIKA : “Maaf, apa Bapak juga keluarga dari pasien? Pak. Pasien kehilangan banyak darah, dan harus segera menemukan donor yang cocok secepatnya. Atau jika tidak, kami tidak tau apa yang akan terjadi”

AKBAR : “Apa maksudmu? Apa kau tidak bisa menyelamatkannya? Bukankah kau bilang kau ini seorang dokter. Lalu apa tugasnya seorang dokter jika tidak bisa menyelamatkannya?”

CHANTIKA : “Pak. Maksudku tuan yang kasar. Aku ini bukan Tuhan, kami para dokter juga manusia biasa. Kami hanya bisa berusaha tapi Tuhan yang akan menentukan”

HARUN : “Kenapa kalian berdua jadi berdebat? Nak, apa golongan darahnya?”

CHANTIKA : “A negatif Pak”

HARUN : “Kebetulan golongan darahku A negatif, dan Akbar anakku juga sama”

CHANTIKA : “Baiklah, kalau begitu ayo ikut denganku Pak. Kita lakukan pengecekan secepatnya”


***


Manik merasa gelisah, dan mencoba menghibur diri dengan menonton TV. Namun betapa terkejutnya melihat acara berita malam di televisi yang menayangkan tentang kecelakaan di dekat taman baru yang tak lain korbannya adalah Sultan.

MANIK : “Sultan?? Tidak! Tidak! Ini tidak mungkin. Sultaannn.... Berita ini pasti salah, kenapa? Kenapa ini terjadi? Tidak! Ini pasti salah. Sultan...”

Manik bergegas pergi dan mendatangi rumah sakit terdekat.


***


Chantika tiba di ruangan pendonoran, Chantika meminta Akbar dan Harun menunggu sebentar, karena dia akan memanggil suster yang akan membantunya.

CHANTIKA : “Bapak, tunggu disini sebentar ya. Aku akan memanggil suster”

AKBAR : “Baiklah, tapi jangan lama-lama. Waktuku sangat berharga”

CHANTIKA : “Iya tuan yang sibuk...”

Chantika keluar ruangan, dan Akbar panik.

AKBAR : “Ayah, bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan sekarang?”

HARUN : “Nak! Kau harus bisa, ini juga demi Sultan. Dia membutuhkan bantuan kita sekarang. Setelah apa yang dilakukannya kepada Nenekmu, apa kau tidak bisa melawan sedikit ketakutanmu Nak?”

AKBAR : “Tapi Ayah, bagaimana caranya? Ayah tau sendiri kan bagaimana aku”

HARUN : “Iya Nak, Ayah tau. Tapi kau . . .”

AKBAR : “Baiklah, aku akan mencobanya Ayah”


***


Manik tiba di rumah sakit Mitra Jaya dan menanyakan Sultan pada resepsionis

RESEPSIONIS : “Ada yang bisa kami bantu Bu?”

MANIK : “Aku mau tanya tentang pasien yang mengalami kecelakaan di dekat taman baru”

RESEPSIONIS : “Apa Ibu keluarganya??”

MANIK : “Apa maksudmu? Kenapa kau jadi ingin tau? Lakukan saja apa yang menjadi tugasmu dengan benar”

RESEPSIONIS : “Baiklah Bu, maafkan aku”


***


Chantika kembali ke ruangan donor darah

CHANTIKA : “Pak . . . ??”

HARUN : “Panggil paman saja Nak dan ini anakku Akbar Kurniawan”

CHANTIKA : “Baiklah Paman... Sekarang Paman berbaring, aku akan memeriksa kondisi Paman terlebih dahulu”

Harun berbaring dan proses pengecekan darah pun dilakukan. Usai pengecekan, dan mendapatkan hasil yang baik. Harun melanjutkan pendonoran, Suster menanganinya. Sementara Chantika menghampiri Akbar dan memintanya untuk berbaring.

CHANTIKA : “Tuan pemarah yang kasar. Ayo. Sekarang kau berbaring”

AKBAR : “Tapi . . .”

CHANTIKA : “Sudah, jangan banyak tapi, ayo cepat berbaring!”

Chantika menutup tirai pembatasnya.

AKBAR : “Hei, kenapa kau menutup tirainya”

CHANTIKA : “Sudahlah, kau diam saja. Banyak pula cerita”

Chantika mulai mempersiapkan jarum suntik, Akbar pun melihatnya dengan tegang dan penuh ketakutan.

Dalam hatinya, Akbar berkata “Ya Tuhan, apa yang akan terjadi. Kali ini tolonglah bantu aku Tuhan”

Chantika mendekat dengan jarum suntiknya

AKBAR : “Kau, kau mau ngapain? Jangan dekat-dekat! Pergi sana!”

CHANTIKA : “Kau ini kenapa? Aku hanya ingin mengecek kondisimu sebelum kau mendonorkan darahmu”

AKBAR : “Aku... Aku tidak mau! Singkirkan suntikanmu cepat!”

CHANTIKA : “Tapi bagaimana aku bisa memeriksamu?”

AKBAR : “Tidak perlu banyak bicara! Ayo letakkan suntikanmu cepat!”

CHANTIKA : “Ah! Kau ini bagaimana?”

Chantika merasa kesal dan membanting suntikannya ke lantai. Lalu Chantika beranjak keluar ruangan sambil mengomel, tapi Harun mencegahnya dan menjelaskan tentang ketakutan anaknya terhadap jarum suntik.

CHANTIKA : “Dia itu benar-benar pria yang aneh. Dia pikir dia siapa? Beraninya dia berkata kasar padaku. Padahal aku hanya ingin mengecek kondisinya, tapi dia? Dia marah-marah padaku. Aku ini seorang dokter dan aku hanya ingin melakukan tugasku saja”

HARUN : “Nak, tunggu sebentar”

CHANTIKA : “Iya Paman,”

HARUN : “Kemarilah”

Chantika menghampiri Harun, Harun berbisik dan mengatakan sesuatu

HARUN : “Nak, apa kau tau? Akbar anakku takut dengan jarum suntik”

Chantika tertawa dan mengejek Akbar. Harun pun tertawa

CHANTIKA : “Hahaha. Apa benar yang paman katakan ini? Akbar anak paman yang kasar dan pemarah itu takut sama jarum suntik?”

HARUN : “Benar Nak. Dulu waktu Akbar masih kecil, kalau dia sedang sakit dan dokter mengatakan harus disuntik maka semua keluarga memegangnya. Aku, Ibunya, Neneknya bahkan lima susterpun kadang-kadang tidak bisa menanganinya”

CHANTIKA : “Ya ampun Paman... Aku tidak percaya ini”

Chantika terus tersenyum dan tertawa sedikit sambil memikirkan sesuatu.

Chantika berkata dalam hati “Baiklah tuan yang kasar dan pemarah, aku punya ide untuk memberikanmu pelajaran sekarang”

CHANTIKA : “Baiklah Paman, aku akan berusaha meyakinkan Akbar”

HARUN : “Tentu Nak,”

CHANTIKA : “Suster tolong bantu aku”

SUSTER : “Baik dok. Aku akan bereskan ini dulu, nanti aku menyusul”

CHANTIKA : “Baiklah. Emm Paman, aku tinggal sebentar ya”

HARUN : “Iya Nak, semoga berhasil”

CHANTIKA : “Terima kasih”

Di bilik tirai nomor lima, Akbar mengomel sendiri. Chantika lalu datang dengan membawa suntikan besar

AKBAR : “Seorang dokter? Apa hebatnya? Dia hanya membawa-bawa jarum kemana-mana. Apa dia tukang jahit? Aku takut dengan jarum suntik. Harusnya dokter bisa mengatasi ketakutanku ini. Bukankah dokter bisa menyembuhkan segala penyakit? Tapi..?? Apa ketakutanku terhadap jarum suntik ini sebuah penyakit? Memangnya tidak ada cara lain apa? Kenapa harus pakai jarum? Bukannya jarum digunakan untuk menjahit pakaian? Tapi di rumah sakit ini malah digunakan untuk orang. Jangan-jangan.... Dokter itu mau menjahit seluruh tubuhku. Ah! Yang benar saja? Astaga, apa yang kupikirkan? Kepalaku jadi pusing.  Akbar, kenapa kau berbicara sendiri? Apa kau sudah kehilangan akal? Semua ini gara-gara dokter menyebalkan itu. Teknologi sudah semakin canggih, tapi rumah sakit ini masih pakai jarum”

CHANTIKA : “Apa kau sudah selesai dengan ceramahmu? Kau bilang aku penceramah, tapi kau berbicara dan berceramah sendiri”

AKBAR : “Kau? Kenapa kau datang kemari lagi? Apa kau mau menguping pembicaraanku?”

CHANTIKA : “Apa? Menguping pembicaraanmu? Kau berbicara dengan dirimu sendiri, kenapa aku akan menguping? Apa aku sudah tidak waras sepertimu? Apa yang akan aku dapatkan dengan menguping pembicaraanmu?”

AKBAR : “Lalu apa masalahmu?”

CHANTIKA : “Seharusnya aku yang bertanya, apa masalahmu? Kenapa kau berbicara sendiri?”

AKBAR : “Sudah lupakan”

CHANTIKA : “Ayo berbaring! Aku kesini mau menyelesaikan tugasku”

AKBAR : “Bukankah aku sudah menyuruhmu pergi?”

CHANTIKA : “Hei, kau ini egois sekali? Keluargamu terbaring lemah di sana dan sedang menunggu donor darah, lalu disini kau hanya mengomel. Ayo berbaring”

Akbar berbaring dan terkejut melihat suntikan besar yang dibawa Chantika

AKBAR : “Apa-apaan ini? A-a-a-apa yang kau bawa itu?”

CHANTIKA : “Ini suntikan untuk mengecek kondisimu”

AKBAR : “Kau ini benar-benar tidak waras ya. Apa kau mau melenyapkanku dengan suntikan sebesar itu?”

CHANTIKA : “Ya ampun, kau tidak akan mati hanya dengan satu suntikan ini”

AKBAR : “Kau benar, kau tidak akan mati, karena kau yang akan menyuntikkannya padaku. Tapi aku yang akan lenyap sekarang. Tidak-tidak jangan lakukan ini. Singkirkan suntikan itu!!!!”

Akbar berlari di dalam bilik dan Chantika mengejarnya sambil menakut-nakuti

AKBAR : “Apa yang kau lakukan? Sudah pergi sana. Singkirkan suntikan itu!”

CHANTIKA : “Ayo sini, kau harus mau”

AKBAR : “Tidak-tidak. Aku tidak mau”

CHANTIKA : “Ayo sini...”

Akbar naik ke tempat pemeriksaan, Chantika pun mengikutinya. Akbar lalu turun dan Chantika terpeleset saat hendak turun, namun Akbar menangkapnya dan mereka berdua saling menatap. Saat Akbar menyadarinya, dia melepaskan tangannya dan Chantika terjatuh di lantai.

“Brukk!!!”

CHANTIKA : “Aduh! Kenapa kau melepaskanku? Apa kau tau? Ini sakit sekali”

AKBAR : “Lalu aku harus bagaimana? Memegangimu selama dua jam. Tanganku juga terasa sakit, kau berat sekali”

CHANTIKA : “Kau ini benar-benar pria yang kasar”

AKBAR : “Kau tidak akan mati hanya karena terjatuh ke lantai ini, tapi apa yang kau bawa itu? Orang bisa mati jika jarum itu menusuk badannya. Apa kau sudah tidak waras?”

CHANTIKA : “Maafkan aku tuan pemarah, aku hanya bercanda. Kau takut jarum suntik bukan? Dan aku pikir akan menakut-nakutimu dengan jarum suntik ini”

AKBAR : “Kau benar-benar sudah kehilangan akal? Pasien manapun akan takut jika melihat suntikan dengan jarum sebesar itu, saat mereka melihatnyapun pasti akan langsung meninggal ditempat”

CHANTIKA : “Kau berlebihan, bukan orang lain, tapi kau membicarakan dirimu sendiri kan?”

AKBAR : “Kau ini bicara apa?”

CHANTIKA : “Aku sudah tau jika kau takut jarum suntik”

AKBAR : “Benarkah? Siapa yang mengatakannya?”

CHANTIKA : “Ayahmu sendiri yang bilang padaku. Aku tidak percaya, seorang pria yang kasar dan pemarah sepertimu, takut dengan jarum suntik sekecil ini?”

AKBAR : “Apa kau mengejekku? Kenapa kau tertawa? Aku tidak takut dengan jarum suntik”

CHANTIKA : “Benarkah itu....”

AKBAR : “Apa kau tidak percaya”

CHANTIKA : “Tidak! Aku lebih percaya sama perkataan Ayahmu”

AKBAR : “Baiklah, kalau begitu ayo lakukan sekarang. Kalau perlu sedot saja semua darahku hingga habis, agar kau merasa puas”

Akbar berbaring

CHANTIKA : “Apa aku tidak salah dengar?”

AKBAR : “Apa sekarang kau juga tuli?”

CHANTIKA : “Baiklah, akan aku lakukan pemeriksaan sekarang. Suster...”

AKBAR : “Hei, kenapa kau memanggil Suster? Apa kau tidak bisa mengerjakannya sendiri?”

CHANTIKA : “Bagaimana nanti kalau kau menendangku? Ayahmu bilang saat kau masih kecil saja lima orang suster tidak bisa mengatasimu, lalu bagaimana denganku seorang diri sekarang? Kau sudah besar dan aku sendirian jadi . . .”

AKBAR : “Hallo. Mataku ini masih normal. Tidak seperti matamu, aku masih bisa membedakan mana bola dan mana manusia”

Mereka berdua tertawa bersama sebelum akhirnya suster datang

SUSTER : “Apakah tuan sudah siap”

AKBAR : “Iya Sus,”

Chantika beranjak ingin keluar bilik

AKBAR : “Kau mau kemana? Apa kau mau meninggalkanku?”

CHANTIKA : “Kenapa? Apa kau takut? Bukankah kau sendiri mengatakan kalau kau tidak takut dengan jarum suntik”

AKBAR : “Iya, tapi... Tidak-tidak, aku ingin membuktikan sendiri padamu kalau aku benar-benar tidak takut jarum suntik”

Chantika termenung dan menatap wajah Akbar yang terlihat panik dan ketakutan. Dalam hati Chantika berkata “Kau bisa menyembunyikan itu dengan kata-kata Akbar, tapi wajahmu tidak bisa berbohong, aku tau kalau kau memang takut jarum suntik”

AKBAR : “Hallo. Kau malah melamun disitu, ayo kemarilah...”

Chantika duduk disamping Akbar. Suster lalu melangsungkan pengecekan, tanpa sadar Akbar memegang tangan Chantika dengan erat. Chantika pun menangis.


***


Harun teringat dengan orang rumah dan segera menghubunginya

HARUN : “Ya Tuhan, saking paniknya aku sampai lupa memberitahu Ibu dan Neta. Aku akan menghubunginya sekarang”


***


Telfon rumah berbunyi

NENEK : “Neta, ada telfon. Cepat angkat, siapa tau itu dari Harun”

JANETA : “Baiklah Bu,”

Janeta mengangkat telfon

JANETA : “Assalamu'alaikum, Halo”

HARUN : “Wa'alaikumsalam, Neta ini aku. Aku ingin memberitahumu, aku sudah tau dimana Sultan”

JANETA : “Benarkah, di rumah sakit mana sekarang Sultan? Dan bagaimana kondisinya?”

HARUN : “Di rumah sakit Mitra Jaya, emmm kondisinya . . .”

JANETA : “Suamiku, cepat katakan. Bagaimana kondisi Sultan? Apa semuanya baik-baik saja?”

HARUN : “Neta, Sultan kritis dan membutuhkan banyak darah. Kebetulan golongan darahnya sama denganku dan juga Akbar. Sekarang kami sedang mendonorkan darah untuknya”

JANETA : “Apa?”

HARUN : “Kau jangan beritahu Ibu dulu tentang kondisi Sultan saat ini, aku takut dia khawatir”

JANETA : “Baiklah, tapi suamiku, apakah benar yang kau katakan? Akbar mendonorkan darahnya untuk Sultan? Bagaimana bisa, dia sangat takut dengan jarum suntik”

HARUN : “Ada seorang dokter muda yang cantik, sepertinya dia berhasil membuat Akbar mengerti dan mau melakukannya”

JANETA : “Aku harap nanti bisa bertemu dengan dokter itu dan mengucapkan terima kasih karena sudah menghilangkan rasa takut anakku terhadap jarum suntik”

HARUN : “Iya tentu, tapi kau kesini besok saja karena ini sudah larut malam dan katakan pada Ibu jika Sultan baik-baik saja”

JANETA : “Baiklah”

HARUN : “Kalau begitu sampai ketemu besok, sekarang kau istirahatlah. Selamat malam, Assalamu'alaikum”

JANETA : “Wa'alaikumsalam”

Janeta kembali ke kamar Nenek

NENEK : “Apa Harun yang menelfon barusan Nak? Apakah Harun sudah mengetahui dimana Sultan?”

JANETA : “Iya Bu,”

NENEK : “Apa katanya? Bagaimana kondisi Sultan?”

JANETA : “Dia baik-baik saja Bu, besok kita akan menemuinya. Sekarang Ibu tidur ya...”

NENEK : “Baiklah...”


***


Proses pengecekan sudah selesai dan kondisi Akbar baik, suster pun langsung melanjutkan proses pendonoran

AKBAR : “Bagaimana? Kau lihat sendiri kan kalau aku benar. Kau tadi sampai menangis, mungkin karena kau tidak bisa menerima kenyataan kalau aku menang”

CHANTIKA : “Tidak, bukan itu”

AKBAR : “Lalu kenapa? Apa kau mengkhawatirkanku?”

Suasana terdiam sejenak

CHANTIKA : “Apa kau tau? Kau tadi memegang tanganku dengan sangat erat dan aku merasa kesakitan hingga aku mengeluarkan air mata. Tapi kau malah mengejekku, menyebalkan”

Chantika beranjak dan pergi dari bilik

AKBAR : “Maafkan aku, aku hanya bercanda saja. Tapi terim . . . Dia pergi, padahal aku mau mengucapkan terima kasih. Sudahlah...”


***


Manik tiba di depan ruangan Sultan, namun Dokter Trisna tidak mengizinkannya masuk karena kondisinya sangat tidak memungkinkan.

MANIK : “Dokter, bagaimana kondisinya”

TRISNA : “Kau . . . ??”

MANIK : “Aku Ibunya”

Dokter termenung dan teringat ucapan Sultan saat mengatakan jika Ayah dan Ibunya pergi meninggalkannya saat masih kecil.

TRISNA : “Kau tinggal dimana saat ini?”

SULTAN : “Dokter Trisna, aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi sekarang. Ayahku meninggalkanku saat aku berumur empat tahun. Dan Ibuku selalu sibuk dengan urusannya. Saat itu aku tinggal sendirian dan hanya bibiku yang kadang datang dan menanyakan kondisiku. Aku tinggal di kompleks Apartemen Perwira Mewah milik ayah Chantika dan merekalah yang merawatku sejak saat itu hingga sekarang dan aku berasa seperti mendapatkan kasih sayang keluarga dari mereka”

Dalam pikirannya Trisna berkata “Orang ini Ibunya Sultan? Kasihan sekali Sultan, dia punya kedua orang tua tapi dia tinggal sendiri di kompleks apartemen, sementara keluarga Chantika yang sudah dianggap keluarga olehnya? Aku belum memberikan kabar ini pada mereka, bahkan aku menyembunyikannya dari Chantika. Apa yang telah aku lakukan?”

TRISNA : “Maaf sebelumnya Bu, kondisinya sangat kritis dan tidak memungkinkan untuk ditemui sebelum donor darah dilakukan”

MANIK : “Apa? Donor darah? Apa kondisinya separah itu dok?”

TRISNA : “Benar Bu, dia kehilangan banyak darah. Aku tidak tau apa yang akan terjadi selanjutnya jika tidak ada pendonor yang datang”

MANIK : “Emmm... Siapa pendonor itu? Aku ingin menemuinya dan mengucapkan terima kasih padanya”

TRISNA : “Dia Ayah dan anaknya yang telah membawa Sultan kemari”

MANIK : “Mereka orang-orang yang baik. Dimana mereka?”

TRISNA : “Di ruang donor darah, Ibu belok kiri dari sini dan ruangan nomor dua dari sebelah kanan”

MANIK : “Baiklah, terima kasih Dok. Aku akan menemuinya nanti”

TRISNA : “Sama-sama”

Dr. Trisna beranjak pergi.

MANIK : “Aku merasa haus sekali. Aku akan beli minum dulu. Setelah itu aku akan langsung temui mereka”


***


Chantika menghubungi Ibunya menggunakan telfon rumah sakit

CHANTIKA : “Halo, Assalamu'alaikum Bu”

ZAENAB : “Wa'alaikumsalam. Iya sayang, kenapa kau belum pulang juga? Ibu merasa khawatir, ponselmu tidak aktif sejak tadi”

CHANTIKA : “Iya Bu, maafkan aku. Ponselku habis baterainya. Oh iya Bu, mungkin malam ini aku akan menginap di rumah sakit saja soalnya pasienku belum selesai ditangani”

ZAENAB : “Sayang, apa perlu aku minta Ayahmu untuk menjemputmu nanti jika pekerjaanmu sudah selesai?”

CHANTIKA : “Tidak perlu Bu, biarkan Ayah istirahat. Dia pasti lelah mengurus mobilku. Benarkan?”

ZAENAB : “Kau benar sayang, Ayahmu tidur dengan nyenyak saat ini”

CHANTIKA : “Ya sudah, Ibu juga istirahat”

ZAENAB : “Baiklah sayang, jaga dirimu baik-baik”

CHANTIKA : “Iya Ibu, Ibu tidak perlu khawatir. Sampai jumpa”

ZAENAB : “Sampai jumpa nak”

CHANTIKA : “Assalamu'alaikum”

ZAENAB : “Wa'alaikumsalam”

Seorang suster datang dan memberitahu jika darah pendonor sudah siap di transfusi

SUSTER : “Dokter Chantika, darah pendonor sudah siap untuk di transfusi”

CHANTIKA : “Baiklah, aku akan segera menemui dokter Trisna”

SUSTER : “Aku permisi dulu”

CHANTIKA : “Iya, terima kasih ya Sus,”


***


Di depan ruangan Sultan dirawat, Akbar dan Harun mengobrol

HARUN : “Nak, aku tidak percaya ini. Kau dapat melakukan donor darah dan kau berhasil mengatasi ketakutanmu dengan jarum suntik”

AKBAR : “Apa maksud Ayah? Aku terpaksa melakukan ini, ini semua karena dokter itu yang menantangku”

HARUN : “Apapun alasanmu, tapi kau tetap berhasil melakukannya Nak...”

AKBAR : “Iya Ayah, ini juga berkat Ayah yang mendukungku. Tapi Ayah tau, sampai saat ini aku masih merasa takut dengan jarum itu, bahkan aku tidak bisa membayangkan kejadian yang baru saja terjadi”

Suasana terdiam sejenak

AKBAR : “Astaga!”

HARUN : “Ada apa Nak?”

AKBAR : “Aku lupa menyiapkan dokumen untuk rapat besok”

HARUN : “Ya Sudah, kau pulang saja Nak. Biar Ayah saja yang menunggu Sultan disini”

AKBAR : “Apa Ayah yakin?”

HARUN : “Iya Nak, tidak apa-apa. Kau pergilah”

AKBAR : “Terima kasih Ayah”

HARUN : “Iya-iya. Kau hati-hati di jalan”

Akbar beranjak pergi


***


Saat Akbar pergi, Manik kembali ke ruangan dimana Sultan dirawat, namun mengurungkan niatnya saat melihat Harun yang duduk-duduk di bangku tunggu. Dalam hatinya berkata “Dia disini? Untuk apa dia berada disini? Apa jangan-jangan dia sudah tau kalau Sultan adalah anak pertamanya? Tidak-tidak, itu tidak mungkin. Siapa yang akan memberitahunya. Sebaiknya aku segera pergi dari sini sebelum dia melihatku”

Manik beranjak pergi


***


Chantika terkejut saat mengetahui pasien yang sedang ditangani adalah Sultan

HARUN : “Nak, tolong selamatkan Sultan. Dia . . .”

CHANTIKA : “Sultan? Sultan siapa yang paman maksud?”

HARUN : “Nak, pasien di dalam yang sedang kau tangani saat ini, dia adalah Sultan. Dia kecelakaan setelah mengantarkan Ibuku pu . . .”

CHANTIKA : “Tunggu-tunggu, apa dia dokter . . . ? ?”

TRISNA : “Benar Chantika, dia Dokter Sultan”

CHANTIKA : “Apa? Dokter Trisna. Aku tidak percaya ini, kau pasti berbohong kan? Jika dia benar Dokter Sultan, kenapa kau tidak mengatakan apapun sebelumnya?”




[ BERSAMBUNG.... ]




- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -  - - - - - - -

EPISODE SELANJUTNYA ....

“Sultan mulai siuman dan dia merasa pusing, Chantika terkejut dengan sikap Sultan yang tidak mengenalinya lagi. Akbar melihat foto Chantika dan Sultan di ponsel milik Chantika, dia berpikir kalau Chantika yang sudah menyelamatkan Neneknya dan dia ingin meminta maaf padanya.”

BACA EPISODE SELANJUTNYA




- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


Follow Social Media Penulis :

Instagram : @arahmanap_
Twitter : @arahmanap_
Facebook : A. Rahman AP


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

PERINGATAN!

Karya tulis ini dilindungi Undang-undang hak cipta dan dalam pengawasan team ART Multimedia Publishing. Barang siapa yang memperbanyak dan memposting ulang tanpa izin, maka akan dikenai pasal dan akan ditindak lanjuti menurut hukum yang berlaku.

For Bussiness :
artproductionsmdr@gmail.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar